hasil lamunan di gunung palung
Setiap
pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah arah mata air yang mengalir membawa
rasa yang begitu dalam. Tiada kata perpisahan untuk sebuah pertemuan yang
sebentar, sadarilah bahwa hadirnya bukan dinding pembatas yang tajam untuk
sebuah pertemuan sebentar. Jika air ini mengalir jauh dan membawa kita
terhanyut dalam kisah yang jauh, maka diam sejenak hingga pilu itu terobati dan
diam itu merampas pahitnya rasa. Salahnya kehadiran yang datang terlambat,
bukan karena dia yang menjauh. Sadari dirimu yang hanya sekedar singgah. Jangan
salahkan waktu yang memaksamu untuk terluka, jangan salahkan cinta yang
memaksamu untuk rapuh, jangan paksakan rindu yang memaksamu untuk cemburu,
jangan salahkan rasa yang memaksamu untuk berduka. Diam sejenak dan rasakan pahit
itu dalam hati, jangan hiraukan gelayut rindu itu memaksamu untuk kembali pada
kisah yang hampa dan fana.
Sandiwara
rasa hanya akan mengantarkanmu pada tipuan nyata yang menoreh pahit hati yang
lama terabaikan. Senyum paksa hanya akan membuat hati beku dalam sebuah
keserasian tangis dan pesimis. Diam kadang jadi emas dan kadang jadi perampas,
jangan abaikan rasa yang kian suram dan membuatmu luka kian dalam. Hanya butuh
satu alasan untuk memberikan penolakan pada kehadiran kisah pahit yang dalam,
katakan bahwa kamu tidak bisa diam dan tidak bisa berbuat apa-apa, salah
seperti apa yang akan memaksamu sakit dalam pahit kisah rumit tanpa pamit.
Salah dalam ulah yang parah dan tanpa amarah, puja yang kian ramah tanpa
sandaran. Ukiran dramatisir seorang amatiran hasil dari segelintir perampas
rindu sebulir. Sadari diam yang membungkam dalam tanpa kata kembali untuk
bersua dan bersuara. Jika matahari ini akan memaksamu luka dalam dan terjatuh
tajam tanpa hunjaman. Dekap erat nadi seorang pengumudi rasa yang buta tanpa
arah. Riangnya nyanyian merah muda seorang pemuda sebaya yang meremas dalam
rasa diam di dalam hati yang buram.
Rintihan
tajam seorang pemarah yang kian pasrah dalam kisah yang tiada arah. Gemericik
air kali yang mengalir membasahi sendu wajah hati pencemburu, tajam dan duduk
lesu dibelakang pintu buntu. Mata merah merekah di ruang tamu menusuk tajam
kebuaian bunda muda, lesu yang kini bergairah kian bangkit dan meraba tajam
kedalam kolam hangat. Syahdu genderam rasa yang kian panik meronta jiwa. Hati
yang terbakar rindu seakan merebut kisah pahit yang menghalangi cinta untuk
mendekap tawa. Gemetar batin yang dalam membawa rasa kebutiran air mata tangis
berderai terurai dalam jalan gontai badan terkulai. Kejam siksa batin yang
merapuhkan senyum dalam diam nan buram. Jangan paksa waktu untuk merampas
kesempatan dalam pertemuan, jangan paksa rindu untuk mengembalikan rasa yang
terkurung dalam bungkaman hati pemuda hampa bermata gulana berburu samudera
rindu.
Gemelayut
tawa hadir sementara dalam pendaman rasa yang dalam. Gemuruh darah meramah nadi
yang berdenyut semakin parah. Hati yang meronta untuk segera berjumpa dalam
dekapan ramah tawa yang kian dekat untuk menyapa. Apa daya hadir sementara lalu
pergi untuk membuat luka tanpa rasa sesal dan berbalik arah dengan dada
membusung usang menerawang. Angan kau ikat bak sandraan rasa yang meraba dekat
menyapa jauh. Sebentar malam sejenak siang, siang yang usang termakan keadaan
buram sandaran rasa. Katakana bahwa sedih itu merampas senyum, jelaskan sendu itu
mengoyak syahdu, pertimbangkan diam itu merampas kesempatan. Usang rasa yang
buram tanpa
Komentar
Posting Komentar